Sabtu, 20 Juni 2009

PENGELOLAAN AIR BERSIH DI SAAT KRISIS

PENGELOLAAN AIR BERSIH DI SAAT KRISIS

Ketergantungan manusia terhadap air semakin besar sejalan dengan bertambahnya penduduk. Saat ini, pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika Bumi baru dihuni 1,8 milyar penduduk. Para ahli meramalkan, dunia yang diperkirakan berpenduduk 8,3 miliar pada 2005 akan menghadapi kelangkaan air bersih. Inilah peringatan yang dihadapi manusia ketika memperingati “Hari Air Sedunia” pada 22 Maret.

Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat Bumi sebagai “Planet Air” lantaran 70% permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di Bumi merupakan air asin dan hanya sekitar 2,5% saja yang berupa air tawar. Itu pun tidak sampai 1% yang bisa dikonsumsi, sedangkan sisanya merupakan air tanah yang dalam atau berupa es di daerah Kutub.

Dengan keterbatasannya ini, sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebih. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan “barang bebas”. Padahal semakin terbatas jumlahnya, berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomis. Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.

Penyediaan air bersih di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks, mulai dari kelembagaan, teknologi, anggaran, pencemaran, maupun sikap dari masyarakat. Pengelolaan air bersih ini berpacu dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat serta perkembangan wilayah dan industri yang cepat. Masyarakat dan industri di perkotaan inilah yang termasuk boros air.

Tanpa disadari, krisis ekonomi di Indonesia yang sudah berlangsung hampir dua tahun juga ikut mengancam pasokan air bersih. Seretnya dana dan membengkaknya biaya operasional ternyata amat berpengaruh terhadap kegiatan operasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pengelola air minum. Studi yang dilakukan oleh Bappenas dan Persatuan Perusahaan Air Minum (Perpamsi) pada November tahun lalu menunjukkan, 87 dari 303 PDAM di seluruh Indonesia berada dalam kondisi kritis (US-AEP Monthly Report, Januari 1999).

PDAM yang kritis itu kesulitan mendanai biaya operasi yang melonjak, terutama oleh kenaikan harga suku cadang, bahan kimia, dan tarif listrik yang meningkat. PDAM Bekasi, Jawa Barat, malah dikabarkan terancam disita Bank Dunia karena dililit utang Rp56,971 miliar. Kondisi sepertiga PDAM ini jelas memprihatinkan karena akan mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat. Kalau benar-benar tutup, bisa-bisa masyarakat akan kesulitan mendapatkan air minum.

Selain masalah dana, PDAM juga dibelit dengan masalah efisiensi sehingga belum dapat melayani masyarakat dengan optimal. Untuk menyelamatkan dan memperbaiki kinerja PDAM, ada baiknya diatasi berbagai kendala dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Peluang penyediaan air bersih di masa depan jelas terbuka lebar, meskipun tantangan yang dihadapi semakin berat.

Potensi dan Kendala

Kehadiran PDAM dimungkinkan melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1962 sebagai kesatuan usaha milik Pemda yang memberikan jasa pelayanan dan menyelenggarakan kemanfaatan umum di bidang air minum. Aktifitas PDAM mulai dari mengumpulkan, mengolah dan menjernihkan, sampai ke mendistribusikan ke pelanggan.

PDAM dibutuhkan masyarakat perkotaan untuk mencukupi kebutuhan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Pasalnya, air tanah di perkotaan telah tercemar oleh bakteri dan logam. Penyedotan air tanah secara berlebihan telah menurunkan permukaan air tanah dan menyusupnya (intrusi) air laut. Penurunan permukaan air tanah dan intrusi air laut terus berlangsung di Jakarta, sehingga kualitas air tanah pun makin menurun.

Hujan deras selama musim penghujan sayangnya tidak mampu mengisi air tanah di Jakarta dan daerah perkotaan lain yang padat penduduknya. Rumah yang berdesakan, gedung bertingkat menjulang, jalan aspal, serta permukaan tanah yang “penuh beton” menghalangi air hujan masuk ke dalam tanah. Genangan air itu langsung masuk ke selokan dan sungai atau membuat banjir berbagai ruas jalan.

Karena kuantitas dan kualitas air tanah (ground water) makin merosot, penyediaan air bersih di masa depan amat bergantung kepada air permukaan (surface water). Air permukaan ini merupakan air baku yang akan dikelola oleh perusahaan air minum di kota-kota besar. Selain dari sungai, bahan baku air minum berasal dari sumur air artesis, mata air, dan sumber air lainnya. Beruntung, Indonesia yang subur memiliki banyak sumber air. PDAM yang ada di Indonesia memanfaatkan sumber airnya dari 201 sungai, 248 mata air, dan 91 artesis.

Tidak semua daerah beruntung memiliki sumber mata air besar, seperti di Umbulan, Jawa Timur, yang memiliki debit air 5.000 liter per detik. Sementara PAM Jaya harus puas mengolah air sungai dari Waduk Jatiluhur. Padahal sungai ini sudah tercemar oleh limbah industri dan limbah rumah tangga yang dibuang seenaknya ke sungai. Pasok air dari sungai juga makin menipis lantaran sumber mata air di hulu (Puncak) telah terganggu oleh kehadiran bangunan beton. Untuk mengelola bahan baku air yang tercemar, tentu dibutuhkan teknologi dan biaya yang lebih mahal.

Akibatnya, kualitas air minum yang diproduksi oleh perusahaan air minum juga rendah. Masyarakat kerap mengeluh air yang disalurkan PDAM sering macet, keruh, dan masih bau kaporit. Masyarakat di beberapa wilayah akhirnya hanya menggunakan air PAM untuk mandi, sedangkan untuk minum mereka terpaksa mengeluarkan uang ekstra untuk membeli Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang harganya lebih mahal dari bensin. Jika hanya dapat dipakai untuk mandi, kepanjangan PDAM bisa dipelesetkan menjadi Perusahaan Daerah Air Mandi!

Selain kualitas yang belum memadai, PDAM juga menghadapi masalah efisiensi dan tingkat kebocoran yang masih tinggi. Tingkat kebocoran fisik perusahaan air minum di Indonesia rata-rata di atas 30%. Bahkan, tingkat kebocoran di PAM Jaya mencapai 57%. Kehilangan air ini disebabkan oleh pipa yang sudah tua dan juga pencurian dengan memasang sambungan liar sebelum masuk meteran. Dari kebocoran fisik saja, PDAM sudah merugi miliaran rupiah. Belum lagi kerugian karena inefisiensi pengelolaan. Akibat ketidakefisienan ini, baru 43% masyarakat Jakarta yang sudah terlayani oleh PAM.

Swastanisasi

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan industri yang melaju dengan pesat, kebutuhan air bersih terus meningkat di Indonesia. Kapasitas produksi PDAM di seluruh Indonesia mencapai 91 liter per detik dan baru mencukupi 43% penduduk perkotaan tiga tahun lalu yang diperkirakan berjumlah 64,4 jiwa (BPS). Pada akhir PJP II di tahun 2019 dengan perkiraan penduduk perkotaan 150,2 juta jiwa dan konsumsi perkapita sama (125 liter per hari) serta cakupan pelayanan mencapai 70%, kapasitas produksi harus ditingkatkan empat kali.

Pasar yang terbuka lebar dan pasok yang masih terbatas ini jelas membuka peluang investasi bagi swasta untuk masuk ke bisnis air minum. Meskipun agak terlambat, swastanisasi di bidang air bersih ini telah dibuka menyusul swastanisasi infrastuktur listrik, telekomunikasi, dan transportasi. Swastanisasi ini juga terbuka bagi asing (PMA) dengan dikeluarkannya Paket Deregulasi No.2 tahun 1995. Dengan swastanisasi ini, diharapkan PDAM dapat meningkatkan kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan efisiensi penyediaan air bersih.

Ada sekitar 20 investor (termasuk investor asing) yang tertarik menggarap proyek air bersih di Indonesia. Sayangnya, proyek yang dianggap basah ini telah tercemar dan menjadi rebutan kroni penguasa alias KKN. Keluarga Cendana (Hutomo Mandala Putra dan Siti Hardiyanti Rukmana) bersaing di Proyek Umbulan, walaupun akhirnya gagal semua. Sementara tanpa tender, Sigit Harjojudanto dan Grup Salim menggenggam izin proyek air bersih di Jakarta. Sigit dan Salim akhirnya mundur, tetapi mitra asing tetap dipercaya untuk meneruskan swastanisasi air minum di Jakarta.

Kedua perusahaan asing itu (Thames Water International dari Inggris dan Lyonnaise des Aux dari Prancis) itu dipercaya lantaran mempunyai reputasi internasional. Lagi pula PAM Jaya kesulitan dana untuk menambah jaringan instalasi. Thames Water menargetkan akan memperluas cakupan pelayanan (dari 44% menjadi 70%) dan mengurangi kebocoran (dari 57% menjadi 35%) secara bertahap.

Negoisasi swastanisasi berjalan alot dan kerap mendapat sorotan tajam. Masyarakat bertanya: benarkah pelayanan dan kualitas air minum akan membaik setelah swastanisasi? Sementara investor yang telah mengeluarkan duit tentu ingin menentukan tarif bersaing agar modalnya cepat kembali. Polemik sering terjadi karena penentuan tarif sering tidak transparan hingga masyarakat menjadi terkaget-kaget. Harapan konsumen sebenarnya sederhana: siapa pun pengelolanya, mutu dan pelayanan bagus serta harga relatif terjangkau.

Solusi krisis

Swastanisasi air minum ternyata tidak berjalan mulus lantaran investor telanjur tersandung krisis moneter, sehingga beberapa proyek tertunda atau gagal. Tanpa suntikan dana dan mitra pendamping, beberapa PDAM jelas akan kesulitan untuk melanjutkan operasinya. Syukur, masih ada bantuan AS$400.000 dari US Asia Environmental Partnership (US-AEP). Melalui Tim Efisiensi Air (WET), dana ini akan digunakan untuk membantu PDAM yang paling berat terkena dampak krisis ekonomi. Tim ini juga akan memberikan rekomendasi tentang cara mempertahankan kualitas dan kuantitas air bersih dengan harga yang terjangkau.

Lembaga dari negeri Paman Sam ini agaknya peduli dengan krisis air bersih yang bakal ditimbulkan akibat krisis ekonomi di Indonesia. Pasalnya, terganggunya pasok air bersih akan meningkatkan masalah sanitasi bagi ribuan keluarga, terutama pada masyarakat lapisan bawah. Mereka yang hidup pas-pasan itu kini harus membeli air minum dengan harga yang lebih mahal dari mereka yang tinggal di perumahan elite. Masyarakat yang tidak berlangganan PAM itu membeli air lewat tukang gerobak air.

Toh, masyarakat tidak bisa menggantungkan harapan tinggi-tinggi kepada swasta atau bantuan asing untuk mendapatkan air bersih. Oleh karena itu solusi untuk mengatasi krisis air pada saat krisis ekonomi akan terpulang kembali kepada masyarakat sebagai konsumen. Pada saat krisis, tidak ada salahnya “gerakan hemat air” digaungkan kembali. Paling tidak ada paradigma baru bahwa eksploitasi air tidak bisa seenaknya lagi.

Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran akan pentingnya air, masyarakat juga akan menjaga sumberdaya air. Konservasi bisa dilakukan dengan mempertahankan daerah hulu sebagai daerah resapan air, tidak mengubah fungsi danau alam sebagai permukiman atau industri, dan menjaga kebersihan sungai. Upaya konservasi air ini pada akhirnya akan meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas air minum. Sebagai “negara air”, rasanya tidak pantas kalau Indonesia sampai krisis air.

Cara dan Tips Membuat Sumur Air / Sumur Bor pada Air Tanah yang Baik

Untuk membuat sumur air yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut ini agar tidak menciptakan masalah pencemaran lingkungan sekitar kita :

A. Pemilihan lokasi sumur yang baik
Tidak berdekatan dengan wc / toilet / kamar mandi agar tidak terjadi kontaminasi saluran pembuangan dengan jaringan sumur air tanah. Jarak yang tepat untuk memisahkan antara lubang sumur air yang akan dibuat dengan toilet yang terdekat adalah minimal 5 meter jika tanah di sekitar lokasi adalah tanah liat dan minimal 7,5 meter jika tanahnya berpasir.

B. Konstruksi sumur air yang sesuai standar
1. Membuat dinding tembok bagian atas pada jarak 3 meter dari permukaan tanah agar tidak terjadi perembesan air dari permukaan tanah yang akan merusak dan mengkontaminasi kualitas air bersih.
2. Pada bagian atas sumur air / sumur bor diberi tutup supaya tidak kemasukan kotoran yang bisa merusak air yang bersih menjadi kotor.
3. Gunakan kaporit sebagai disinfektan dengan takaran dosis 1 gram per 100 liter untuk membunuh kuman dan bakteri yang merugikan kesehatan tubuh kita jika menggunakan ember atau timba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar