Sabtu, 20 Juni 2009

KAJIAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS OPERASIONAL JARINGAN IRIGASI MENDUKUNG PRODUKTIVITAS USAHATANI PADI SAWAH

ABSTRAK

Salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani padi di lahan sawah adalah adanya jaringan irigasi yang efisien dan efektif. Makalah bertujuan untuk membahas operasional jaringan irigasi terutama menyangkut tingkat efisiensi dan efektivitasnya dalam mendukung produktivitas usahatani padi sawah. Makalah dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian di Daerah Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, tahun 2003. Pengumpulan data dilakukan melalui survey terhadap 75 orang petani anggota perkumpulan pemakai air (P3A) yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dalam hal ini indikator efisiensi dilihat dari Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR) sedangkan efektivitasnya ditunjukkan oleh indeks luas (IA) lahan yang terairi. Hasil pengkajian menunjukkan: (a) Daerah irigasi Pengasih mempunyai luas jaringan sekitar 2120 ha, meliputi 30 desa dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha); (b) Jumlah kelompok P3A terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan GP3A Pengasih Barat dengan luas jaringan masing-masing 716 ha dan 1404 ha; (c) Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di wilayah tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-masing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003; (d) Tingkat efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk ditingkatkan kembali melalui upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani pengelola irigasi melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap diperlukan.

Kata kunci: jaringan irigasi, efisiensi, efektivitas, P3A, produktivitas, usahatani padi.

PENDAHULUAN

Usaha peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi, pada dasarnya dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain ekstensifikasi, intensifikasi dan rehabilitasi, namun upaya tersebut memerlukan waktu yang panjang. Menurut Saptana, dkk., (2001), dalam jangka pendek pilihan yang layak untuk meningkatkan produktivitas usahatani adalah melalui intensifikasi dengan meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya. Pada usahatani padi sawah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui alokasi air irigasi secara efektif dan efisien.

Perlunya alokasi sumberdaya air (irigasi) pada lahan sawah terkait dengan kinerja pengelolaan air irigasi pada level usahatani yang masih jauh dari optimal, bahkan cenderung masih boros, sementara itu kehilangan air yang terjadi di saluran irigasi juga sulit di tekan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama rendahnya realisasi areal tanam dan panen padi pada MK I dan terlebih pada MK II, yang bermuara pada rendahnya perolehan produksi (Fagi, 2002; Pasandaran dan Hermanto, 1995; Pusposutardjo, 1995). Dari hasil penelitian Saptana dkk (2001) terungkap bahwa salah satu simpul kritis dalam pengelolaan air irigasi mencakup 8 aspek, salah satunya adalah sistem jaringan irigasi.

Keberadaan jaringan irigasi dalam hubungannya dengan upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan khususnya padi sawah telah menjadi pembahasan berbagai pakar pertanian. Mereka menelaahnya dari berbagai segi baik teknis maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek teknis, pembahasan irigasi telah dikemukakan antara lain oleh Ismindarwati (1983), Arief (1996), sedangkan dari aspek sosial ekonomi dan kelembagaan antara lain dibahas oleh Pasandaran (1995), Sumaryanto (2001), Saptana, dkk (2001), Purwoto, dkk (1998). Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang diperbaharui dengan PP. No.20 /2006 Tentang Irigasi.

Makalah ini akan melengkapi informasi kajian jaringan irigasi yang telah ada, dengan lebih memfokuskan bahasan pada aspek efisiensi dan efektivitas operasional jaringan irigasi dalam mendukung produktivitas usahatani padi sawah, kasus di jaringan Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta.


METODOLOGI PENGKAJIAN

Pendekatan

Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier.

Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta bangunan pelengkapnya.

Menurut Purwoto (1998) dan Sumaryanto (2001), dalam sepuluh tahun terakhir ini di wilayah-wilayah yang semula didesain sebagai lahan beririgasi teknis dan semi teknis telah terjadi penurunan kapasitas lahan irigasi, karena degradasi sumber air irigasi dan menurunnya kinerja jaringan irigasi. Degradasi sumber air irigasi berupa menurunnya stabilitas debit air sungai, sedangkan menurunnya kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh rusaknya saluran-saluran tersier dan tidak berfungsinya saluran tersebut akibat elevasi dan dasar saluran lebih tinggi dari permukaan air di saluran sekunder. Disamping itu ditengarai oleh Arief (1996), bahwa menurunnya kapasitas lahan irigasi bisa juga disebabkan karena rancang bangun jaringan irigasi yang kurang baik.

Di dalam pengelolaan jaringan irigasi ini, terdapat tiga kegiatan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Ismindarwati, 1983). Selanjutnya Kast dan Rosenweig (1985), mengemukakan bahwa tolok ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Dalam hal ini efisiensi teknis diukur dari tiga indikator yaitu Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR). Sedangkan efektivitas ditunjukkan oleh indeks luas areal (IA).

Data dan Sumber Data

Pembahasan didasarkan atas data primer yang dikumpulkan melalui survey terhadap 75 orang petani dari beberapa Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menggunakan kuesioner semi terstruktur. Lokasi pengkajian adalah di sekitar daerah irigasi Pengasih, yang secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Untuk memperkaya bahasan, digunakan pula data hasil wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa informan kunci, serta informasi hasil penelusuran pustaka.

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

(a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR) dengan rumusan sebagai berikut:

Pasok Air Irigasi

(a.1) PIA = Liter/Detik/Ha

Luas Lahan Terairi

Pasok Irigasi Total

(a.2) PIR/RIS = Liter/Detik/Ha

Kebutuhan Air Tanaman

Total Pasok Air

(a.3) PAR/RWS = Liter/Detik/Ha

Kebutuhan Air Tanaman

Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka pengelolaan irigasi semakin efisien.

(b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut:

Luas Areal Terairi

IA = X 100 %

Luas Rancangan

Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Daerah Irigasi Pengasih

Secara administratif Daerah Irigasi (DI) Pengasih termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kulonprogo, berada dalam pengamatan pengairan Wates, Cabang Dinas Pekerjaan Umum II (Tengah). Luas areal yang diairi (=oncoran, Jawa) DI Pengasih mencapai 2120 ha, meliputi 30 desa di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha).

Pengelolaan air irigasi di level petani dalam DI Pengasih dilakukan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), yang terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan Pengasih Barat dengan luas masing-masing 716 ha dan 1404 ha. Sumber air yang digunakan berasal dari air Bendung Pengasih yang disadap melalui saluran primer sampai pintu bagi sekunder dan kemudian didistribusikan melalui dua buah saluran sekunder. Saluran sekunder pertama berada di Kedundang untuk wilayah Gabungan Pengasih Barat dan kedua, saluran sekunder Cangkring untuk Gabungan Pengasih Timur. Panjang saluran seluruhnya mencapai 27,01 km dengan jumlah bangunan 377 buah.

Dilihat dari kondisinya, dari total panjang saluran itu hanya sekitar 50% saja yang baik. Sisanya tergolong sedang dan bahkan kondisinya jelek. Adapun mengenai bangunan, sebagian besar (78%) kondisinya tergolong baik dan yang sedang serta jelek tidak lebih dari 22%. Secara lebih terinci datanya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Keadaan Saluran dan Bangunan dalam Jaringan Irigasi Pengasih di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta 2003

Komponen Jaringan Irigasi

Kriteria

Ukuran

Saluran

Panjang

27,1 km

Baik

51,12 %

Sedang

46,05 %

Jelek

2,84 %

Bangunan

Jumlah

377 unit

Baik

77,97 %

Sedang

21,47 %

Jelek

0,57 %

Sumber : Data penelusuran jaringan, (2003)

Keberadaan DI Pengasih di Kulonprogo cukup strategis disamping Daerah Irigasi lainnya (DI Papah), karena dapat memfasilitasi kebutuhan pengairan hampir 50 % wilayah pesawahan di Kulonprogo. Dengan efektifnya operasional jaringan di DI Pengasih, dapat menghindari terjadinya kekeringan di sekitar 2120 hektar persawahan. Jika rata-rata produktivitas sawah di Pengasih mencapai 54,26 kw/ha, maka kinerja DI Pengasih dapat menyelamatkan produksi padi sekitar 11,5 ribu ton padi di Kabupaten Kulonprogo.

Efisiensi Pengelolaan Jaringan Irigasi

Sebagimana telah dikemukakan, efisiensi pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nilai koefisien PIA, PIR dan PAR. PIA menunjukkan nisbah antara pasok irigasi dengan luas lahan terairi, dalam hal ini semakin kecil nilai PIA maka efisiensi manajemen akan semakin besar. Sementara itu PIR atau disebut juga Relative Irrigation Supply (RIS) menunjukkan nisbah antara pasok irigasi total dengan kebutuhan air tanaman, dan PAR atau Relative Water Supply (RWS) merupakan nisbah total pasok air (irigasi ditambah curah hujan efektif) terhadap kebutuhan air tanaman.

PIR dan PAR biasa juga dipakai untuk mengukur kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya air dalam kegiatan suatu sistem irigasi. Selisih antara PAR dan PIR merupakan curah hujan yang dapat digunakan tanaman. Apabila curah hujan tinggi dan nilai PIR juga tinggi maka fenomena ini menunjukkan bahwa petani belum mampu untuk mengelola sumberdaya secara sepadan. Semakin kecil nilai PIR dan PAR menunjukkan bahwa efisiensi manajemen irigasi semakin bagus.

Dari hasil analisis data lapangan diketahui nilai efisiensi pengelolaan jaringan irigasi di DI Pengasih dari tahun 2002 ke tahun 2003 mengalami penurunan. Data pada Tabel 2 menunjukkan, nilai PIA, PIR dan PAR pada tahun 2003 relatif lebih besar dari tahun sebelumnya, yang berarti terjadi penurunan kadar efisiensi dalam pengelolaan jaringan irigasi.


Tabel 2. Nilai efisiensi Pengelolaan Irigasi di Pengasih Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, 2004

Indikator dan parameter

Kisaran nilai (l/dt/ha)

2002

2003

Pasok Irigasi per Area (PIA)

0,92

1,68

Pasok Irigasi Relatif (PIR)

1,33

2,44

Pasok Air Relatif (PAR).

1,33

2,44

Sumber: Data Primer diolah

Menurunnya nilai efisiensi tersebut antara lain karena pola perilaku petani daerah hulu yang ”menimbun” air. Perilaku petani tersebut mengakibatkan petani di daerah hilir mengalami kekurangan air sehingga pembagian air di daerah hulu dan hilir tidak merata, terutama di musim kemarau.

Selain itu kecilnya luas kepemilikan lahan rata-rata sekitar 0,02 ha menyulitkan pengurus untuk membagi air sesuai kebutuhan air tanaman sehingga kurang efisien. Berkurangnya nilai efisiensi juga disebabkan adanya kerusakan jaringan sehingga tidak dapat menyalurkan dan membagi air dengan baik. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah perlunya pendampingan dari petugas pengairan untuk membantu pengelola dalam memperhitungkan kebutuhan air tanaman berdasarkan debit tersedia sehingga pemberian air ke petak-petak tersier lebih merata dan adil.

Efektivitas Pengelolaan Jaringan Irigasi

Efektifitas pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nisbah antara luas areal terairi terhadap luas rancangan. Dalam hal ini semakin tinggi nisbah tersebut semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi. Dengan pemahaman seperti itu, di lapangan diidentifikasi rasio atau nisbah luas areal terairi terhadap rancangan luas areal mencapai 91% (0,91). Artinya dari seluruh target areal yang akan diairi hanya ada sekitar 9% saja yang tidak terairi. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (89%), efektifitas pengelolaan air ini mengalami peningkatan sekitar 2%.

Terjadinya peningkatan indeks luas areal (IA) di DI Pengasih diduga selain karena adanya penambahan luas sawah baru, juga dapat diartikan bahwa irigasi yang dikelola secara efektif mampu mengairi areal sawah sesuai dengan yang diharapkan.

Peran Irigasi Terhadap Produktivitas Usahatani Padi Sawah

Di dalam teknologi usahatani terutama padi sawah, peran irigasi sangat strategis. Namun perannya tersebut akan tergantung juga pada dukungan teknologi lainnya seperti penggunaan benih unggul bermutu tinggi, pengolahan tanah yang sempurna, pemupukan yang berimbang dan pengendalian hama-penyakit. Dengan demikian peran irigasi bukan satu-satunya unsur teknologi yang bisa mendukung peningkatan produktivitas.

Terjadinya interaksi kegiatan irigasi dengan teknologi lainnya dalam mendukung produktivitas usahatani, menyebabkan peran irigasi tersebut tidak secara eksplisit dapat diidentifikasi dampaknya terhadap peningkatan produksi. Hal tersebut, secara empiris di lapangan ditunjukkan oleh keragaan perolehan produktivitas usahatani padi.

Dalam periode tahun 2002 – 2003, perolehan produksi 0adi per hektar rata-rata terjadi peningkatan relatif kecil yakni dari 5,68 ton per hektar pada tahun 2002 menjadi 5,70 ton per hektar pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 0,02 ton per hektar. Disisi lain dari analisis irigasi ditunjukkan bahwa dalam peride tersebut terjadi penurunan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara meningkatnya produktivitas usahatani padi dengan penurunan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi. Peningkatan produktivitas usahatani, sejalan dengan meningkatnya efektivitas pengelolaan air, namun hal ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut keterkaitannya.

Persepsi Anggota P3A Terhadap Pengelolaan Irigasi

Pemahaman tentang persepsi anggota P3A terhadap pengelolaan irigasi diperlukan untuk mengukur sejauhmana tingkat kepuasannya terhadap kinerja pengelolaan irigasi yang dilakkan pengurus P3A. Dalam hal ini yang diungkap adalah kepuasan anggota terhadap beberapa aspek pengelolaan irigasi antara lain dalam hal kecukupan pemberian air, ketepatan waktu dan keadilan yang dilakukan pengelola.

Hasil identifikasi di lapangan terungkap bahwa persepsi anggota P3A terhadap aspek-aspek pengelolaan air irigasi ini menunjukkan masih relatif rendah. Kenyataan tersebut ditunjukkan secara faktual berdasarkan jawaban yang terungkap. Terhadap aspek kecukupan air, misalnya, hanya sekitar 50,13 % anggota P3A yang menyatakan tingkat kecukupan baik. Demikian juga terhadap aspek ketepatan waktu dan keadilan yang dilakukan pengelola, kurang dari 50 % anggota memberikan respon yang positif. Anggota P3A yang menyatakan pengaturan air irigasi tepat hanya dinyatakan oleh sekitar 48,8% dan keadilan dalam pengelolaan air dinyatakan oleh sekitar 43,53 %. Berdasarkan informasi tersebut, untuk sementara dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja pengelolaan air oleh P3A masih perlu ditingkatkan lagi.

Masih rendahnya kinerja pengelola yang ditinjau dari derajat kepuasan anggota antar alain disebabkan kurangnya kepekaan, pengetahuan dan keterampilan pengelola P3A dalam memahami/mengikuti dinamika iklim sehingga cenderung menetapkan jadwal pola tanam yang relatif rutin. Hal itu dilakukan karena etani mengasumsikan bahwa secara kuantitas, sumberdaya air selalu cukup dan memenuhi persyaratan. Kenyataannya sering terjadi ketidak cukupan, ketidak tepatan, ketidak adilan dalam pembagian air. Akibatnya petani gagal panen sehingga produktivitas usahatani menurun.

Salah satu solusi yang disarankan adalah perlunya menyusun pola tanam yang berbasis pada kondisi dinamika iklim, antara lain meliputi keragaan bulan basah dan bulan kering.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di wilayah pengkajian menunjukkan penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-masing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003.

2. Peningkatan produktivitas usahatani tidak sejalan dengan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi, tetapi sejalan dengan efektifitas operasional jaringan irigasi.

3. Tingkat efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk ditingkatkan melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, S.S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancang bangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman (Crop Diversification): Studi Kasus di Daerah Irigasi (DI) Cikuesik, Cirebon.

Fagi, A.M., S. Partohardjono, dan E. Ananto. 2002. Strategi Pembaharuan Kebutuhan Pangan Beras 2010. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sukamandi 4 – 7 Maret 2002. Balai Penelitian Padi. Sukamandi. Jawa Barat.

Ismindarwati, 1983. Pokok Pekerjaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Irigasi dalam Penuntun Kursus E&P. DPU. PLAV. Jakarta.

Kast, F.E. dan J.E. Rosenweig, 1985. Organization and Manajement, A System and Contingency Approach. Fourth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. New York.

Pasandaran, E. dan Hermanto.1995. Pengelolaan Sistem Irigasi Hemat Air dalam Rangka Mempertahankan Swasembada Beras. dalam Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis, Pengelolaan, dan Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung.

Purwoto, Adreng P. et.al. 1998. Perubahan Manajemen Sumberdaya Air dan Investasi Menunjang Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Kerjasama The Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.

Saptana, Sumaryanto, Hendiarto, R.S. Rivai, Sunarsih, A. Murtiningsih dan V. Siagian. 2001. Rekayasa Optimalisasi Alokasi Air Irrigáis Dalam Rangka Peningkatan Produkai Pangan dan Pendapatan Petani. Buletin AgroEkonomi, Vol 1 No 3 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Saptana, Hendiarto, Sunarsih dan Sumaryanto. 2001. Tinjauan Historis dan Persepktif Pengembangan Kelembagaan Irrigáis di Era Otonomi Daerah. FAE Vol 19, No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Sumaryanto, 1999. Keswadayaan Petani Dalam Mengelola Sumberdaya Air Untuk Irigasi FAE Vol. 17 No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Sumaryanto dan T. Sudaryanto, 2001. Perubahan Paradigma Pendayagunaan sumberdaya Air dan Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan. FAE. Volume 19, No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Pusposutardjo, S., 1995. Efisiensi Air Irigasi di Saluran dan Petak (Sawah). ). dalam Ganjar Kurnia (Ed.). 1995. Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis, Pengelolaan, dan Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar